Para Pencari Tuhan

Rangkuman Buku Para Pencari Tuhan

Pendahuluan:

 Saya akan merangkum 2 kisah dari  buku karya Idries Shah, berisi tentang kisah kisah dari ajaran ajaran para guru dan muzhab sufi, yang direkam selama ribuan tahun yang silam. Bahan bahan dikumpulkan dari berbagai sumber sumber Persia, arab, turki, dan lain lain. 

            Di lingkungan Sufi, sudah menjadi kebiasaan jika pelajar menelaah kisah kisah yang diberikan sebagai bahan pelajaran bagi mereka, sehingga dimensi internal mungkin disingkapkan oleh guru pengajar sebagaimana dan ketika pelajaran sebagaimana dan ketika pelajar tersebut dinilai siap untuk menjalaninya dalam kehidupan sehari hari.

   RODA ZAMAN terus bergulir, dunia semakin tua, manusia dengan angkuh mengaku telah menguasai segalanya.  Sebagian mereka gelisah karena kehilangan pegangan, merasa semakin jauh dari tuhan. Mereka mencari tuhan yang telah lama mereka tinggalkan. Dalam dunia yang karut marut ini.   

AIR SURGA

   Haris seorang Badawi, dan istirinya Nafisa hidup berpindah pindah tempat membawa tendanya yang tua.  Dicarinya tempat-tempat yang ditumbuhi beberapa kurma, rumputan untuk untanya, atau yang mengandung sumber air betapapun kotornya. Kehidupan semacam itu telah dijalani bertahun-tahun lamanya.

   Haris jarang sekali melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Ia biasa menjerat tikus untuk diambil kulitnya, dan memintal tali dari serat pohon kurma untuk di jual kepada kafilah yang lewat.  Namun, pada suatu hari sebuah sumber air muncul di padang pasir, dan Haris pun mencicipi air itu. Baginya air itu terasa bagaikan air surga, sebab jauh lebih bersih dari air yang biasa diminumnya.

   Bagi kita, air itu akan terasa memuakkan karena sangat asin. “Air ini,” katanya, “harus aku bawa keseseorang yang bisa menghargainya.” Karena itulah ia berangkat ke Bagdad, ke Istana Harun al-rasyid; ia pun berjalan tanpa berhenti kecuali kalau makan beberapa butir kurma.   Haris membawa dua kantong kulit kambing penuh berisi air:   satu untuk dirinya sendiri, yang lain untuk Sang Kalifah. Beberapa hari kemudian, ia mencapai Bagdad, dan langsung menuju istana. Para penjaga istana mendengarkan kisahnya dan hanya karena begitulah aturan di istana mereka membawa Haris ke hadapan Raja. “Pemimpin Kaum yang Setia,” kata Haris, “Hamba seorang Badawi miskin, dan mengetahui segala macam air di padang pasir, meskipun mungkin hanya mengetahui sedikit tentang hal-hal lain. Hamba baru saja menemukan Air Sorga ini, dan menyadari bahwa ini merupakan hadiah yang sesuai untuk Tuan, hamba pun segera         membawanya kemari sebagai persembahan.” Harun Sang Terus terang mencicipi air itu dan, karena ia sepenuhnya memahami rakyatnya, diperintahkannya para penjaga membawa pergi Haris dan mengurungnya di suatu tempat sampai ia mengambil keputusan. Kemudian dipanggilnya kepala penjaga, katanya, “Apa yang bagi kita sama sekali tak berguna, baginya berarti segala-galanya. Oleh karena itu bawalah ia pergi dari istana pada malam hari. Jangan sampai ia melihat Sungai Tigris yang perkasa itu. Kawal orang itu

        Sepanjang perjalanan menuju tendanya tanpa memberinya kesempatan mencicipi air segar. Kemudian berilah ia seribu mata uang emas dan terima kasihku untuk persembahannya itu. Katakan bahwa ia adalah penjaga air sorga, dan bahwa atas namaku ia boleh membagikan air itu kepada kafilah yang lalu, tanpa pungutan apapun.

         Kisah ini juga dikenal sebagai “Kisah tentang Dua Dunia.” Kisah ini disampaikan oleh Abu al-atahiya dan suku Aniza (sezaman dengan Harun al-rasyid dan pendiri Darwis Mashkara (‘Suka Ria’) yang namanya di abadikan dalam istilah Mascara dalam bahasa-bahasa Barat.  Pengikutnya tersebar sampai Spanyol, Perancis. dan negen-negeri lain. Al-Atahiya disebut sebagai “Bapak puisi suci Sastra Arab.” Ia meninggal tahun 828.

ANJING, TONGKAT DAN SUFI

       Pada suatu hari seorang yang berpakaian sebagai Sufi berjalan-jalan; ia melihat seekor anjing di jalan; ia pun memukulnya dengan tongkat. Si Anjing, sambil melolong kesakitan, berlari menuju Abu Said, Sang Ulama. Anjing itupun menjatuhkan dirinya dekat kaki Sang Ulama sambil memegang moncongnya yang terluka; ia mohon keadilan karena telah diperlakukan secara kejam oleh sufi itu.

     Abu Said mempertemukan keduanya. Kepada Sufi dikatakannya, “O Saudara yang seenaknya, kenapa kau perlakukan binatang dungu ini sekasar itu! Lihat akibat perbuatanmu!” Sang Sufi menjawab,”itu sama sekali bukan salahku, tapi salahnya Saya tidak memukulnya tanpa alasan, saya memukulnya karena ia mengotori jubahku.”

    Tetapi Si Anjing tetap menyampaikan keluhannya. Kemudian Sang Bijaksana berbicara kepada Anjing, “Dari pada menunggu Ganti Rugi Akhirat, baiklah saya berikan ganti rugi bagi rasa sakitmu itu.” Si Anjing berkata, “Sang Agung dan Bijaksana! Ketika saya melihat orang ini berpakaian sebagai Sufi, saya berfikir bahwa ia tak akan menyakiti saya. Seandainya saya melihat orang yang berpakaian biasa saja, tentunya akan saya berikan keleluasaan padanya untuk lewat. Kesalahan utama saya adalah menganggap bahwa pakaian orang suci itu menandakan keselamatan.

    Apabila Tuan ingin menghukumnya, rampaslah pakaian Sufinya itu. Campakkan dia dari pakaian Kaum Terpilih Pencari Kebenaran…” Anjing itu sendiri berada suatu Tahap dalam Jalan. Sangat keliru kalau kita beranggapan bahwa manusia harus lebih baik darinya. “Penciptaan keadaan” yang disini ditampilkan oleh jubah Sufi sering disalahtafsirkan oleh kaum kebatinan dan keagamaan apa saja sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman dari kegunaan nyata.

   Kisah ini, dari buku Attar Ilahi-Nama, sering diulang-ulang oleh para Sufi “Jalan Salah,” dan dianggap ciptaan Hamdun Si Pemutih Kain, pada abad kesembilan. [Ridha Inaayah, asal Jakarta Barat, DKI Jakarta, kelas 12 | tugas liburan semeter, hasil rangkuman dari buku yang dibaca selama liburan]

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai